Dian Adel (The D.A) - Part 7
7:06 AM
PART VII
- Dian -
Adel masuk rumah sakit.
Seakan ilangnya dia
itu belum jadi kejutan buat gue, dan ternyata dia selama ini di tempat Egi, dan
kemudian dia ada dirumah sakit. Dirawat di rumah sakit. Itu anak kerjanya
ngapain aja sih selama gue tinggal di Indonesia?
“D, you wanna play or
what?” teriakan coach langsung
bikin gue sadar kalo gue masih ada di lapangan buat latihan. Gue langsung
mengangguk dan berdiri sementara coach menggeleng pelan ke arah gue. Belakangan
ini, sehari sejak gue tau Adel masuk rumah sakit, kerja gue begini terus.
Tiba-tiba coach gue malah ngomong sama asistennya, dan
kemudian berjalan di depan gue, berbicara dan nyuruh gue ngikutin dia, pas dia
ngelewatin gue. Gue Cuma bisa diem sambil ngikut di belakang, berjalan menjauh
dari lapangan dan temen-temen gue yang masih sibuk tanding. Pasti gue bakal
didamprat nih bentar lagi.
Coach naik ke atas, bagian penonton. Kita latihan di lapangan
kayak GOR gitu, dan bagian penonton menanjak ke atas. Coach kemudian duduk, dan
mengerling ke gue, lalu memukul pelan tempat di sebelahnya, menyuruh gue duduk.
“Supp with you lately?”
kata coach kemudian. Gue diem, bingung mesti mulai darimana. Gue tau, kerjaan
gue dari sejak gue over protektif sama Adel sampe doyan bengong 2 hari ini
karna Adel masuk rumah sakit, pasti coach
udah merhatiin. Dan mungkin, bisa dibilang dia terganggu akan hal itu.
“Actually, I have some
kind of problem lately,” kata gue akhirnya.
“What kind of problem?”
“You know.... it’s
about.....” gue bingung mengumpulkan kata-kata dan memilih kalimat yang
tepat.
“Your girlfriend again?”
kata coach akhirnya. Gue menoleh dan gabisa menyembunyikan keterkejutan gue.
Coach gue cuma menaikkan alisnya sebentar, dan menatap gue.
Akhirnya gue memilih untuk menceritakan soal Adel yang masuk
rumah sakit, dan bahwa sebelumnya dia juga sempat pake acara ilang segala.
Coach gue mendengarkan dengan cukup baik kalau menurut gue, walaupun dia ga
nanggepin apa-apa sepanjang gue cerita. Gue juga bingung kenapa akhirnya gue
bisa ceritain semuanya ke dia. Emang sih, gue sama coach lumayan akrab, soalnya
dari sejak gue masih di PB dulu dan dia mau minta gue pindah ke club dia, gue
juga udah lumayan sering ngomong dari waktu itu.
“So? You wanna go back to
Indonesia?” kata coach gue cepat. Jujur aja, gue ga ada niat buat minta
pulang ke Indo segala, soalnya gue cuma punya jatah pulang 2 kali lagi, yang
udah gue siapin kalo misalnya ada keadaan gawat darurat yang membuat gue harus
pulang, dan itu berhubungan dengan keluarga. Sebenernya sih maksimal gue boleh
pulang atau izin 5 kali selama setahun, tapi baru beberapa bulan gue disini,
gue udah make 2 kali jatah pulang gue. Belum juga setengah tahun gue gabung
disini. Ditambah kejuaraan Asia juga makin deket. Gue harusnya fokus sama
basket sekarang.
“No. No, actually I
tell you just so you know about it. I have no aim to ask permit and go back to
Jakarta,” kata gue cepat.
“Buddy, I know it’s not
easy. I mean, you’re here for like some months but still you have lot of things
bother your mind,”
“No coach, I’m fine.
I’ll try to let it go soon and I’m so sorry about it,” kata gue lagi. Coach
memandang gue bentar.
“Tomorrow is Friday, and since we have no practice on
weekend, and I have things to do on Monday, I think you have free days. I will not put it on your
free-chance, so you still have the others 3,” kata coach. Gue memandang ga
percaya. Jadi dia ngijinin gue balik ke Jakarta dalam 3 hari karna ga ada
latihan dan segala macemnya? Serius?
“But well, you promise
after you go back from Indonesia you
will practice hard and make sure we will win this championship. Are we clear
here?” kata coach ke arah gue. Gue masih ga percaya.
“I’ll ask some people
to try looking for the cheapest price for your flight, but still, it’s not our
responsibility about all the charge,” kata coach. Gue langsung mengangguk.
“I..... I understand
coach. Absolutely yes, I will fight as hard as I can,” kata gue dengan
senyum lebar banget tercetak di wajah gue.
“Well, until then, can
you focus on our practice now? I’ll contact my friends and by the end of the
day you will got your flight ticket and tomorrow you can have breakfast in
Jakarta,” kata coach lagi. Gue langsung mengangguk dengan semangat.
Dan latihan dengan berapi-api.
Good morning Jakarta.
Jam 9 pagi waktu Jakarta. Gue udah sampe di bandara, dan
langsung nyetop taksi. Gue udah tau rumah sakit tempat Adel dirawat. Gue udah
nanya Onel kemaren, walaupun gue ga ngomong kalo gue bakal ke Jakarta. Dan
sekarang gue lagi di taksi, dalam perjalanan ke rumah sakit. Dalam perjalanan
menemui pacar gue yang paling keras kepala dan bandel maksimal.
Nyampe di rumah sakit gue langsung ke bagian informasi dan
kemudian dikasi penjelasan ke ruangan Adel. Dan sebelum gue ngebuka pintu, gue
sengaja ngintip dulu. Adel udah bangun. Tumben. Mungkin karna dia harus minum
obat pagi. Dan dia lagi menatap TV dengan bosan, sementara 1 tangannya memegang
tab. Kebiasaan Adel banget.
Gue kembali menarik napas. Entah kenapa perut gue sedikit
mules. Tapi akhirnya gue menarik gagang pintu, dan membukanya. Adel kayaknya
langsung denger kalo ada yang datang. Dan dia menoleh pelan.
“DIAN?!” setengah berteriak gitu, ditambah suara dia normal
pun udah kayak teriak, bikin gue senyum makin lebar sambil berjalan ke arahnya.
Dan langsung gue peluk Adel, yang juga langsung ngulurin tangannya gitu gue
setengah berlari ke arahnya tadi.
Dan belum semenit, gue ngerasa bagian dada gue hangat. Baju
gue basah. Dan kemudian gue denger suara Adel yang setengah terisak.
“Maaf. Aku kangen.....”
Dan gue cuma nyium puncak kepalanya lembut.
“Jadi, kamu kenapa bisa kesini?” kata Adel akhirnya. Gue
nungguin tangisnya reda. 5 menit, lumayan juga. Kaget sih gue sebenernya. Ini
anak nangis karna segitu kangennya sama gue?
“Yeah well, let’s just
say aku khawatir tingkat penerbangan Internasional sama kamu,” kata gue
sambil tersenyum ke arah Adel. Dia ngeliat gue dengan tatapan yang sulit
diartikan.
“Trus kamu disini berapa lama?”
“Gabisa lama-lama, Sayang. Senen sore juga udah mesti balik
lagi kesana,” kata gue. Dan benar kayak dugaan gue, dia langsung cemberut
maksimal.
“Gak seru!” katanya ngambek, dan langsung muter badannya,
ngebelakangin gue.
“Nah kaan kaaaaan, mulai kan ga dewasanya. Mumpung aku disini
lho, Jumat, Sabtu, Minggu, Senen. 4 hari harusnya dimanfaatin banget banget
tuh,” kata gue mencoba membujuk Adel.
“Bodo! Jahat kesininya 4 hari doang,”
“Jadi gausah kesini sekalian?” kata gue mancing. Dan emang
Adel langsung ngebalik badannya, menghadap gue dan setengah mendelik.
“Ya bukan gituuuuu... Kamu gabisa libur lebih lama?”
“Ini aja susah ngurusnya,” kata gue sambil setengah nyengir.
Adel masih cemberut.
“Udah doooong, pacarnya disini kok dicemberutin sih?” Adel
masih ga berkutik, Cuma ngeliat gue sebentar dengan tatapan datar.
“Ayo doooong, senyum dulu ayoooo,” kata gue lagi sambil
ngeluarin sesuatu dari tas gue. Si Adel mulai sok sok senyum terpaksa. Gue
kemudian mengeluarkan bingkisan berlogo merk tas gitu, yang sengaja gue
sempetin beli di Bangkok. Kemaren sih sebelum si Adel ngambek gue rencana mau
ngirimin ke dia.
“Senyum ga sekarang?” kata gue akhirnya sementara si Adel
udah nyengir lebar sambil ngulurin tangannya.
“Dasar!”
Setengah jam gue dengerin cerita Adel soal alasan dia ngabur
dan segala macemnya. Dan kemudian gue minta maaf soal cerewetnya gue selama ini
sampe bikin dia punya ide buat ngabur segala dan ga ada kabar berita sama
sekali. Ke gue.
Dan sekarang kita udah baikan.
“Aku pinjem hape kamu dong, babe,”
“Mau buat apa?”
“Mau nelpon Onel. Nomer aku masih nomor Thailand. Aku mau
nyuruh dia kesini,”
“Onel ga tau kamu pulang?” kata Adel sambil menatap gue ga
percaya. Gue cuma menggeleng pelan.
“Jangankan Onel, mama aja ga aku kasi tau kalo aku mau
pulang,” kata gue lagi.
“Aaaaaa Diaaaaan, pulangnya buat aku aja dong?”
“Iya buat kamu aja deeeeeh,” kata gue lagi, dan Adel langsung
narik tangan gue, trus memeluknya manja gitu.
“Unyu banget sih kamu,” kata dia, sementara gue cuma mencubit
hidungnya.
“Mana sini hape kamu?”
“Gatauuuu, lupa naronya dimana. Coba di sofa situ deh,” kata
Adel menunjuk sofa di dekat jendela. Gue berjalan dan mengambil BB Adel yang
emang lagi dicolok.
“Makan obat, kamu!” kata gue sambil menunggu sambungan telpon
masuk ke Onel.
“Maleeeeessss,”
“Heh! Ga ada ya males males. Sebelum aku balik ke Thailand, kamu
harus udah sembuh,” kata gue tegas. Adel keliatan mau ngebantah, tapi Onel udah
keburu ngejawab telpon di ujung sana.
“Iya kenapa Del?”
“Woooy!” kata gue cepat. Onel diam sebentar.
“Halo? Del?” kata Onel kemudian, setengah ga yakin.
“Woooy, ini kayak suara Adel emangnya?” kata gue lagi.
“Anjir! Dian! Woooy! Lo ngapain? Dimana lo?” Onel langsung
heboh.
“Di rumah sakit nih, bareng Adel,”
“Adel yang masuk rumah sakit sampe dibawa ke Thailand apa
gimana nih ceritanya?”
“Ya enggak lah, bego! Gue lagi di Jakarta. Sini dong, lo lagi
dimana sih?”
“Gokiiiiiilllll, gila gilaaaa. Bentar, gue speaker dulu
bentaaar,” kata Onel, dan kemudian terdengar suara berisik gitu, riuh teriakan
anak-anak PB.
“Woooy!!!”
“Diaaan, itu beneran lo?”
“DI! WOOY! Becanda lo ye?”
“ONEL!!” Gue terpaksa teriak supaya Onel bisa dengar suara
gue.
“Iyowww, yooww nape?”
“Lo ke rumah sakit sini. Kagak kangen apa sama gue?”
“Najis! Eh tapi boleh deh, kita juga ga lagi latian ntar
sampe abis sholat jumat. Tungguin, lo jangan ngabur,”
“Gampaaaang. Buruan yak!”
“Maaf Suster, kamarnya Adel
dimana ya?”
“Adel siapa ya Mas?”
“Adel, Adeline Rebecca,
Suster. Baru masuk kemaren atau 2 hari yang lalu kalo ga salah,”
“Ooooh, Mbak Adel, iya ada.
Maaf Mas ini siapanya ya kalo boleh tau?”
“Saya pacarnya,”
“Hah? Lho, Mas toh pacarnya?
Kirain yang masuk sama dia,”
“Hah? Maksudnya gimana
Suster?”
“Ooh- oh enggak Mas. Bukan,
ga ada kok,”
“Emang Adel masuknya bareng
siapa?”
“Kan dia kecelakaan Mas,
sama cowok, dirawat disini juga. Kirain saya itu pacarnya,”
“Ooooohh.... Itu temen saya
mungkin. Siapa namanya?”
“Disini sih dicatet namanya
Nuel, Mas. Suka ke kamar Mbak Adel juga kok,”
“Nuel? Nama panjangnya siapa
ya Suster? Saya sih ga inget nama Nuel tapi kayaknya tau gitu, apa inget
mukanya sih. Mungkin tau nama tengah apa belakangnya,”
“Nuel Ginting, Mas, disini
didaftarkan,”
“Oh...... Oooh Nugiii... Iya
iya, namanya Nugi itu saya taunya. Nuel Ginting,”
“Oooh,.... heheheh...”
“Iya, kenal saya. Oh iya,
tadi kamar Adel yang mana Suster?”
Nuel.
Nuel Ginting.
Tadi pas gue nyampe di rumah sakit, di depan gue nanyain ke
Suster. Dan tersebut 1 nama. Nuel.
Gue ngebuka fitur BBM di handphone nya Adel, waktu itu anak
juga lagi ga merhatiin gue. Tadi abis gue nelpon Onel, gue sengaja sok-sok
lama, sementara si Adel udah sibuk lagi di atas kasur sambil main tab-nya,
nge-game. Dengan cepat gue ngetik kata Nuel, dan ngeliatin chat nya. Gue
memperbesar foto yang dipasang. Okay.
“Kamu ngapain sih?”
Gue agak kaget si Adel ternyata udah ngeliat ke arah gue
lagi.
“Hah? Eh, itu... tadinya aku mau sms, tapi aku baru inget ini hape kamu, bukan
hape aku. Mana ada nomor coach aku
disini,” kata gue ngarang, sementara Adel memutar bola matanya, bosan. Gue
nyengir doang.
“Udah kamu minum obatnya?”
“Males, Diiiiii.............”
“Adeeeeel!” gue kembali mengeluarkan nada mengancam sambil
berjalan mendekat. Tangan gue di bawah langsung menekan tomboh berwarna merah.
“Ayo sini, kamu kan harus udah sembuh sebelum aku tinggal,”
kata gue sambil meletakkan BB Adel di meja di sebelah kiri tempat tidur.
Gue akhirnya memutuskan untuk nginap di tempat Onel, supaya
besok gue masih bisa ke rumah sakit dari pagi. Dan baru besok gue bakal nelpon
orang rumah buat ngabarin kalo gue pulang. Kalo misal gue ngasih tau dari
sekarang, pasti gue bakal langsung disuruh tidur di rumah.
“Lo tau yang namanya Nuel ga?”
Sekarang udah jam setengah 2, gue sama Onel malah ga jadi
tidur soalnya masih nungguin bola yang mulainya jam 2 nanti.
“Hah? Siapa?”
“Nuel. Nuel Ginting,” kata gue lagi.
“Itu siapa, Man? Lo
tau dia darimana?”
“Lo tau gimana Adel masuk rumah sakit?”
“Kan udah gue ceritain ke lo, dia lagi nyari beasiswa atau
apalah. Itu sih kata Bi Tengah,” kata Onel lagi. Dia emang manggil mamanya Adel
dengan sebutan Bi Tengah, karna nyokapnya Adel anak ketiga dari 5 bersaudara.
“Trus kenapa bisa ada di mobil itu?”
“Mobil apa? Gue malah gatau dia kecelakaan pake mobil apa
gimana. Bi Tengah juga ga bilang apa-apa ke gue,” kata Onel. Gue diem sebentar.
Dan akhirnya gue menceritakan soal percakapan gue sama suster
di depan tadi pagi. Onel malah menaikkan alisnya.
“Gue ga tau sama sekali. Ga kenal. Dan selama gue disana
juga, itu anak ga pernah muncul kan? Maksud gue, kalo misalnya emang mereka 1
rumah sakit, dan well, menurut gue
sih pergi bareng ke kedutaan itu udah termasuk lumayan deket ya, masa dia ga
ngejenguk Adel sepanjang hari?”
“Mungkin udah dilarang sama Adel buat hari ini,”
“Karna?”
“Karna ada gue. Adel punya BBM nya, dan mereka juga BBM-an
gitu. Belum banyak sih, mungkin, mengingat BB Adel juga baru balik ke tangan
dia,”
“Bentar bentar deh Di, gue masih ga ngerti ini akhir
pembicaraan lo maksudnya apa,” kata Onel. Gue masih diam, memandang TV yang
lagi nampilin iklan rokok sponsor acara bola.
“Lo ga bilang kalo.... maksud gue, lo ga mikir kalo Adel
selingkuh, kan?”
Besok paginya, pulang jogging sama Onel, gue langsung
siap-siap mau ke rumah sakit. Onel harus ke kampus pagi ini, karna dia ada
jadwal bimbingan sama dosen, sementara nanti dia bakal nge-drop gue dulu di
rumah sakit. Dan sekarang, gue udah ada di mobil Onel, di perjalanan mau ke
rumah sakit.
“Menurut lo, gue perlu tanyain langsung ga ke Adel?”
“Lo serius Di?”
“Kenapa?”
“Ya siapa tau itu cuma kayak temen dia gitu, yah mungkin
temen SMP apa SMA yang ketemu dan kemudian ada akses ke kedutaan Jerman. Adel
kan mau cari beasiswa disana, dan cowok itu mungkin ngebantuin,”
“Ya kalo emang gitu, ga ada masalah dong harusnya?” kata gue
sambil menoleh ke arah Onel, sementara itu anak masih sibuk nyetir.
“Justru bakal jadi masalah. Nih ya, kalo menurut gue, Adel
itu lagi labil banget sekarang. Dia itu sampe kabur lho karna lo kemaren-maren
segitu over protective nya sama dia.
Maksud gue, kalo misalnya lo tiba-tiba dateng trus nanya ke dia soal hal kayak
gitu, yah well, gue ga bisa bilang
kalo Adel juga bakal seneng dengan pertanyaan lo itu,” kata Onel. Gue diem
sambil berpikir. Sebenernya masuk akal sih apa yang dibilang Onel. Sangat masuk
akal, malah.
“Kalo lo tanya gue, Adel itu lagi lunak banget sama lo. Liat
aja sikap dia kemaren sama lo. Manja-manja gitu, ga ada cerewetnya. Menurut gue
sih, dia itu lagi ngerasa bersalah karna main ngabur, dan kemudian fakta kalo
lo kesini, bahkan tanpa ngomong ke nyokap lo, dan juga ga ngomong ke gue sama
anak-anak. Itu bikin Adel lagi ngerasa istimewa dan seneng banget, dan juga
sebenernya, jauh di dalem dia tuh, dia ngerasa makin bersalah sama lo. Jadi
yah, dia lagi bagus banget mood-nya.
Apa yang lo bilang bakal diiyain sama dia,”
“Tapi.....?” gue tau kalimat Onel belom kelar.
“Tapi, jangan sampe lo ngungkit hal itu. Kalo sampe lo
tanyain, ntar kesannya lo pulang justru karna lo gabisa lagi percaya sama dia.
Lo curigaan segitunya sampe-sampe lo pulang, sementara dari kemaren dia minta
lo balik, lo gabisa,”
“Kan gue udah jelasin ke lo gimana ceritanya gue bisa
pulang,”
“Gue tau, tapi lo ga bilang ke Adel,” kata Onel lagi. Gue
kembali diam.
“Udah, nyampe noh! Kalo lo mau denger kata gue sih, gue
saranin lo gausah ngomongin soal itu sama sekali. Ntar gue coba nanyain Vissa
deh, kali aja Adel ada cerita soal cowok itu,” kata Onel sambil menghentikan
mobilnya di depan lobby rumah sakit. Gue menoleh sebelum keluar.
“Lo beneran cocok ya sama Vissa. Ada bakat jadi guru
konseling,” kata gue akhirnya sambil ketawa.
“Hahahah sialan lo! Baik-baik ya sama sepupu gue,” kata Onel
sementara gue menutup pintu.
Gue langsung masuk ke kamar Adel tanpa ngecek dulu dari
jendela. Dan kaget banget karna ternyata ada papanya Adel di dalem.
Well, gabisa dibilang gue sama
bokapnya Adel punya hubungan baik. Bokapnya tau gue sama Adel pacaran, tapi
sebenernya gue juga belum dapet lampu ijo sih dari bokapnya. Istilahnya sih gue
masih status siaga disini. Sementara nyokapnya Adel sih cukup welcome sama gue. Soalnya gue pernah
ketemu sama nyokapnya waktu nyokapnya main ke Jakarta. Gue bahkan nganterin
mereka belanja. Nyokapnya Adel emang masih belum pindah ke Jakarta. Surat
pindah nyokapnya masih belum lulus, walaupun katanya udah diurusin. Kemungkinan
sekitar tahun depan baru nyokapnya bisa dipindah tugasin ke Jakarta.
Dan pas gue masuk, Adel sama bokapnya sama-sama menoleh ke
arah gue. Adel langsung menggigit bibirnya dan memasang wajah ga enak. Kayaknya
dia abis diomelin sama bokapnya sih. Egi juga ada disana, kayaknya juga kena
cipratan omelan.
Gue dateng di saat yang ga tepat.
“Eeennggg... Selamat pagi, Om,” kata gue sedikit kaku sambil
tersenyum. Bokapnya Adel masih mandangin gue sambil setengah mengerutkan
kening.
“Kamu.... Kamu memangnya di Jakarta? Bukannya kamu sudah
pindah?” kata bokapnya Adel sambil ngeliat ke arah gue.
“Iya Om, eeennggg.... ke Thailand,” kata gue sambil sekilas
melihat ke arah Adel.
“Dan?”
“Eeeemmm... kebetulan dapat ijin buat ke Indonesia, Om,
ngeliat Adel,” kata gue lagi. Bokapnya menaikkan alis sekali lagi sambil
menatap gue, lalu menoleh ke arah Adel, yang masih menunduk diam. Beneran
diomelin berarti tadi.
“Keberatan kalau saya bicara dulu dengan anak saya?” bokapnya
Adel kembali bersuara sambil lagi-lagi menatap gue tajam.
“Oooh, eh... enggak, Om, silahkan. Saya akan nunggu di luar,”
kata gue sambil tersenyum sopan dan sedikit mengangguk ke arah bokapnya Adel,
lalu senyum bentar ke Adel sebelum akhirnya keluar dari kamar itu.
-xo
@ribkadel
1 comments