Asal Usul Purba Karo

6:45 AM

Jadi ini jam 6 pagi, dan benar sekali, gue belum tidur sepanjang malam. Gue udah download beberapa film Eropa, tapi belum ada yang gue tonton jadi gue belum bikin review. Gue pengen banget nulis blog, sampe tadinya saking randomnya gue mau nulis #20factsaboutme yang lagi rame di instagram karna gue udah di tag sampe 4 orang di IG tapi gue pikir kalo tulis di IG gak puas dan gue mau bikin disini.
Tapi gue males. *insert emot gak kaget disini*

Anyway, jadi kan gue sepanjang malam super random gak ngapa-ngapain yang berarti, trus jam setengah 5 gue pengen nulis, tapi gue kan udah stuck banget sama naskah gue, jadi gue nulis ulang naskah yang kemaren udah sampe 30an halaman di laptop ini, tapi belum gue pindah ke hard disc external dan hard drive laptop rusak dan belum gue back up. Intinya, naskahnya ilang. Jadi gue tulis lagi aja, mumpung udah di kepala juga.
Nah, jadi kan gue bikin ceritanya soal ada lah unsur budaya Karo nya gitu kan, gak banyak sih, cuma masalah di marga gitu deh. Tapi trus gue bingung, itu marga berdua bisa jadi gak ya? Ntar gue jago-jagoan pula, ternyata eh ternyata gabisa karna marga, kan ga lucu buku gue di banned di kemudian hari --"

Jadilah gue malah riset kecil soal marga di budaya Karo, atau yang dikenal sebagai Merga Silima. Trus setelah menemukan apa yang gue cari - dan ternyata 2 marga yang gue pake itu bisa, yang berarti gue ga bego bego amat soal marga dan adat dan segala macemnya -, gue malah kepo sendiri sama marga yang gue sandang.
Purba Karo.

Dulu sih gue pernah baca bukunya gitu, buku cerita rakyat Indonesia edisi Sumatera Utara gitu, dulu ada tuh jaman gue SD di rumah, gue inget pernah gue tunjukin ke bokap, trus bokap sambil tidur tiduran di kamarnya, malah jadi baca itu.
Lah dia gatau sejarah marganya sendiri apa gimana? HAHHAHA peace Pak :p
Anyway, ternyata abis gue research, ceritanya ada yang lebih lengkap. Trus gue pikir, gue gak pernah post sesuatu yang berhubungan sama diri gue gitu kayaknya, i mean yang kayak budaya gitu gitu. Jadi yaudah, gue putuskan gue tulis aja ceritanya disini hehehe

For your information dulu sih, ini kan cerita legenda gitu ya, jadi maklumin aja kalo ada kejadian aneh bin ajaib ala ala film naga indos*ar. Ya namanya juga cerita lisan jaman dulu :p

---
Jadi ceritanya, marga Purba Karo itu berasal dari Purba Simalungun. Suatu hari Raja Purba di Simalungun sakit terus-terusan, dan ada dugaan itu disebabkan oleh kebahagiaan yang direnggut (jrit, dangdut amat bahasa gue) karena kelahiran putra bungsunya, yang dianggap membawa sial. Akhirnya, dari kerajaan memanggil seorang dukun sakti untuk mencari obat dan mengatasi kesedihan. Si dukun datang, dan dimulailah upacara Kang Dukun, yang kemudian mengatakan kalau memang kelahiran putra bungsu Raja Purba memang penyebab sial dn malapetaka. Jadi si anak bungsu itu diminta untuk disingkirkan atau dibuang jauh-jauh dari keluarga.
Karena tak tahan lagi akan semua kesedihan yang ada (cih, lagi lagi bahasa gue), akhirnya raja setuju anaknya diasingkan. Si dukun sakti aka Guru Pakpak Pitu Sedalanen dipercaya untuk membawanya pergi, waktu itu umur si anak masih sekitar 13 tahun, jaman lagi cabe-cabenya kalau sekarang. Oh iya, cowok, berarti lagi terong-terongnya.
Anyway, mereka jalan jauh banget dari daerah Simalungun, sampai ke Gunung Barus ke arah Matahari terbenam. Si putra bungsu menjadi sangat sedih hati karena dibuang oleh keluarga dan saudaranya. Sampai di tempat tujuan, sang dukung mendirikan sebuah gubuk untuk tempat tinggal si bungsu. Lalu, sang dukung berniat untuk pulang, setelah semua selesai.

Maka dimulailah drama tangis bombay. No, ini serius. Sang anak yang kalut dan sedih, kemudian menangis dan meratap ke sang dukun agar tidak ditinggalkan sendirian. Ya tau lah kan gimana tampang anak kecil kalo nangis? Gak dikasi permen aja mukanya beneran kasian banget gitu, apalagi mau ditinggal sendirian. Ya walaupun udah umur 13 tahun dan lagi terong terongnya, ya pokoknya karna nangisnya udah involved sesak napas dan keterpurukan yang mendalam, si dukun mau gak mau kasian juga. Dielus-elus pala itu anak dengan kasih, biar dia bobok siang. Gak berhasil.
Akhirnya si dukun yang kasihan itu memberi nasehat agar si anak jaga diri baik-baik, dan tidak boleh kembali ke Simalungun karena dia sudah tidak dianggap. Seperti halnya pacar cadangan di malam minggu. Tidak dianggap.

Si dukun kemudian memberikan pedang dan pisau agar si anak latihan untuk menjaga diri. Dia juga meninggalkan makanan yang konon katanya cukup untuk 7 tahun. 7 hari aja makanan gue pada basi --" Oh iya, selain itu, sang dukun juga kemudian mengurung gubuk tersebut dengan bambu kuning berduri yang rapat-rapat, agar si putra bungsu tidak kabur atau kembali ke Simalungun. Juga untuk melindunginya dari binatang buas. And anyway, itu tempat sekarang masih ada coy! Dinamakan buluh duri, dan dihiasi 7 mata air benik di Lau Gendek, Berastagi, yang sampe sekarang katanya masih keramat.

Lalu akhirnya sang dukung pergi, pulang kembali ke kerajaan, sementara si putra bungsu ditinggalkan disana. Selama 7 tahun dia hidup di gubuk, sampai akhirnya makanannya sudah hampir habis. Dia juga belajar menggunakan pisau dan pedangnya, dan mungkin gubuknya cukup luas buat dia belajar push up dan olahraga, soalnya kabarnya, pas dia keluar dari gubuk, doi jadi pemburu yang gagah, dewasa dan kekar, serta berparas rupawan. Dia juga pintar mencari binatang buruan.
Okay, dia mulai terdengar sebagai cowok-cowok kece yang super hot dan yummie di novel-novel chicklit.
Atau mungkin, male version of Katniss Everdeen.

Anyway, si putra bungsu hidup seperti itu selama beberapa tahun, sampai pada suatu hari, sewaktu hendak berburu, dia melihat seekor burung cantik dengan bulu warna warni, yang selalu berhasil mengelak dari panah si putra bungsu.. Karena penasaran, si putra bungsu terus mengikutin sampai ke Gunung Singkut, dan tanpa diduga-duga, tiba-tiba matanya melihat sesosok tubuh wanita cantik yang sedang duduk sambil mengeringkan rambutnya di dekat sebuah mata air yang jernih dan bening.
Yak, seperti iklan shampoo di tipi tipi ya?

Sang wanita kemudian menanyakan tujuan si putra bungsu, sambil tersenyum manis. Putra bungsu hanya melongo tak mampu menjawab, membuat si wanita kembali bertanya. Kali ini menanyakan mengapa dia diam saja.
"Oh... oh, tidak. Aku hanya terkejut melihat adanya wanita sendirian di tengah hutan lebat begini,"
Si putra bungsu, sejak saat ini kita panggil sebagai Purba Mergana, kemudian mendekat dan mulai bercakap-cakap dengan manusia pertama yang ditemuinya sejak tujuh tahun lebih berada di pembuangan. Dia menceritakan soal masa lalunya dan bagaimana dia bisa ada di gunung tersebut. Wanita tersebut mendengarkan dengan penuh perhatian, dan tergugah hatinya. Saking asiknya bercerita, mereka tidak sadar hari sudah siang dan perut mulai lapar.

Sang wanita mengajak Purba Merganan mampir untuk malam, dan Purba Mergana tidak keberatan. Mereka masuk ke sebuah gua yang cukup bersih, dan terkejutlah Purba Mergana karena di dalam gua terdapat seekor ular besar tetapi pendek yang melingkar, sementara di dekatnya di atas batu, bertengger burung yang tadi dikejar oleh Purba Mergana. Walaupun heran, Purba Mergana tetap masuk dan duduk di atas tikar, lalu mulai makan buah-buahan, sementara sang wanita yang diyakini bidadari itu bercerita bahwa ular itu adalah ibunya, sementara sang burung adalah ayahnya, yang memang sengaja memancing Purba Mergana untuk datang ke Gunung Singkut untuk merencanakan perjodohan antara Purba Mergana dengan sang bidadari cantik jelita. Maka mereka menjadi suami-istri.

Orang tua sang bidadari menyarankan mereka hidup bersama manusia lainnya, dan menempuh cara hidup manusia, yaitu tidak terpencil dan mengasingkat diri di Gunung Singkut maupun Buluh Duri tepat Purba Mergana. Setelah memberi petuah, pergi lah mereka berdua sampai ke sebelah barat daya kampung Kaban yang dihuni merga Kaban dan Ketaren. Purba Mergana kemudian meminta izin mendirikan rumah di kampung tersebut.
"Kalau anda mau menjadi warga kampung ini, kami terima dengan baik. Bangunlah barung kalian ke arah Kenjahe (maksudnya bangunlah rumah ke arah hilir dari kampung tersebut)"
Sejak saat itu, berdirilah gubuk mereka yaitu kampung Kaban arah Jahe yang kini dikenal dengan Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo. Which is kampung bokap ane.

Selama menetap di Kabanjahe, mereka dianugerahi 6 orang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan, sehingga diberi julukan Purba Si Enem alias Purba yang ada enam. Dan kepada keturunannya itu, diingatkan pantang membunuh ular, sehingga sampai sekarang Merga Purba di Tanah Karo sangat dipantangkan untuk memukul atau membunuh ular. Selain itu, para wanita yang beru Purba juga terlahir cantik-cantik, karena mereka keturunan dari bidadari. Sorry, semua yang memungkinkan, bold, underline, italic, harus digunakan. Udah keturunan, dan udah takdir gue ternyata.

Anyway, lama-lama barung tersebut berubah menjadi perkampungan sendiri milik keturunan Purba Mergana, yang kemudian diberi nama KABANJAHE. Para keturunan Purba mengembangkan barung-barung lain sesuai nama mereka masing-masing, yaitu Katepul, Samura, Ketaren, Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu dan Ujung Aji, serta menyebar ke seluruh penjuru Karo.

Demikian lah sejarah dari Beru Purba yang gue emban ini. Kalau mau baca versi lengkap dan gak ada komentar gak penting ala gue, bisa klik disini.
 Sulit memang kalau udah ditakdirkan cantik keturunan bidadari :p Anyway, soal ular, gue jadi inget cerita kakak sepupu gue soal Biring gue, nyokapnya bokap. Dulu, kalau mereka ke ladang, dan ada ular, biring gak pernah takut sama sekali. Tapi dia juga ga bunuh ular. Bahkan kakak sepupu gue yang lain bilang, dulu mereka kalo ke ladang dan ada ular yang lewat gitu, mereka ya jalan aja gitu biasa. Walaupun gak marga atau beru purba, tapi kan mereka cucu Bulang Purba, dan biring nikah sama Bulang Purba.
Gue sih gak kebayang kalo gue yak, liat uler di tipi aja merinding, gimana papasan di ladang -____-"
Oh iya, kakak sepupu gue juga bilang, dulu Biring gue isengnya gak tanggung-tanggung. Kan kadang ada tuh ular mati di ladang yak, nah nanti Biring gue bakal ambil itu ular, trus dipakein kayu gitu, dibediriin di jalan raya gitu, bikin orang-orang yang lewat suka panik dan teriakan.
Gak heran.

Keluarga gue emang koplak sih. Apalagi nyokap gue itu, aduh, cerita-ceritanya kocak. Dulu gue rencana mau bikin post soal nyokap buat dedikasi pas dia ulang tahun pas bulan Agustus. Tapi apa daya, laptop gue memilih untuk rusak di bulan itu --" Nanti deh kapan-kapan gue tulis mungkin pas edisi Hari Ibu.

Sekarang gue mau nulis dulu. Ciao!



-xox
@ribkadel

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews